Moh Mahfudin Alqifahri
17/410878/SV/12805
Kearsipan C
Ringkasan Sejarah Penyebaran
Islam di Yogyakarta
Daerah
Istimewa Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Jawa
dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya memiliki salah
satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Ketika
itu Kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau
Sultan Hadiwijaya. Setelah Pajang jatuh, kerajaan Islam itu di pindahkan ke
Mataram oleh Raden Sutawijaya yang bergelar “Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina Panotogomo Khalifatullah
Tanah Jawi”.
Sesudah
naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih
dikenal dengan sebutan Sultan Agung, ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta.
Terjadi
gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di
Batavia, bahkan Kerajaan Mataram melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia
pada tahun 1628 – 1629.
Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan
Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram
melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya
yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Amangkurat
II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak
yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton
dipindahkan lagi ke Kartasura (1680). Karena kraton yang lama dianggap telah
tercemar. Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III
(1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II
(1726-1749).
VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.
Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III
setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti.
Masuknya
Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan
masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden
Said), merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja.
Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata
menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri
Nusantara dan Kekhilafahan Islamiyah.
Jogja
yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan
Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola
interaksi yang islami. Hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan yang
telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti sekaten,
rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada hingga
kini.
Komentar
Posting Komentar