NAMA : Muhammad Yusuf Habibulloh Ash-Shiddiq
NIM : 17/416398/SV/14136
KELAS : Kearsipan C
NIM : 17/416398/SV/14136
KELAS : Kearsipan C
Daerah Istimewa
Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Jawa memiliki salah satu Kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan
Mataram yang dimaksud adalah kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang
menurut silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Ketika itu Kerajaan Demak
dipindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya.
Setelah Pajang jatuh, kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram oleh Raden
Sutawijaya. Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan
Jawa Timur.
Mataram mengalami puncak kejayaannya yaitu pada masa Raden Mas
Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan
sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi
untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura. Kerajaan Mataram
melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia sebanyak dua kali yaitu pada tahun 1628 – 1629. Mataram
lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Setelah wafat, ia digantikan oleh
putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Amangkuarat II sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidaka puas sehingga pemberontakan pun terus terjadi. Sehingga pada masnya krato dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5 KM sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar. Pengganti
Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I
(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak
menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana
I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa
Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti. Berakhirlah era Mataram sebagai satu
kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa
beranggapan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta merupakan "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram.
Masuknya Islam di Jogja tidak lepas dari peran penting dari Wali
Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said) yang merupakan tokoh sentral dalam
pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Jogja yang saat itu
masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha,
sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang
islami. Di sinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah, memberikan
andil yang begitu besar. Hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan
yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti
sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada
hingga kini. Wayang, sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan
oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah. Wayang
yang sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan
masyarakat yang paling populer. Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten yang sangat kental kebudayaannya hingga kini. Hingga saat ini penyebaran Islam di Jogja menjadi semakin besar bahkan menjadi pusat peradaban Islam Modern yang beraliran Muhammadiyah.
Komentar
Posting Komentar