Nama :Siti Novi Musdianti
NIM :17/410884/SV/12811
kelas : kearsipan C
RINGKASAN MASUKNYA ISLAM KE YOGYAKARTA
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu
kesultanan islam di Indonesia yakni kesultanan mataram . kesultanan yang
dimaksud adalah kerajaan islam yang dibangun pada abad ke-16 yang menurut
silsilah dari Kerajaan islam Demak. Ketika itu Kerajaan
Demak dipindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan
Hadiwijaya. Setelah Pajang jatuh, kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram
oleh Raden Sutawijaya yang bergelar “Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina
Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi” (Panglima Perang dan Ulama Pengatur
Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah,
DIY dan Jawa Timur.
Ketika Kerajaan Mataram
mencapai puncak kejayaan dibawah kepemimpinan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo
atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk
mencari pengaruh di Jawa. Ia
memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw.
"kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat
terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, bahkan Kerajaan
Mataram melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628 – 1629. Mataram
lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan
antara Mataram melawan VOC. Setelah
sultan Agung wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan
oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I). Amangkurat II (Amangkurat
Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas
dan pemberontakan terus terjadi. Amangkurat II digantikan oleh Amengkurat III. VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang
VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja Akibatnya Mataram
memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.Kekacauan
politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Surakarta tanggal 13 Februari1755.
Pembagian wilayah ini
tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah).
Masuknya
Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan
masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden
Said), merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja.
Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata
menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri
Nusantara dan Kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu di pimpin oleh Sultan
Muhammad I (808H/1404M), yang juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau
Celebi dari Kesultanan Utsmani. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat
besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia, termasuk
Kesultanan Mataram di Yogyakarta.
Jogja
yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan
Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola
interaksi yang islami. Di sinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah, Hasilnya adalah terdapat sejumlah
upacara kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah
masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja
wayang yang masih ada hingga kini. Wayang, sebagai salah satu contoh, merupakan
sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam
(dakwahtainment). Wayang yang sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan itu menjadi
salah satu hiburan masyarakat yang paling populer. Demikian pula pada upacara
grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua
syahadat, merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga
dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada Perayaan Maulud Nabi di Masjid
Agung. Adapun grebeg, yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara
menghantarkan Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti Perayaan Maulud
Nabi Muhammad saw. yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana
lengkap dengan nasi gunungannya.
Komentar
Posting Komentar