Nabila Febriana 17/415557/SV/13422
Kearsipan C
Perkembangan
Akulturasi Budaya Islam dan Hindu-Budha di Kudus
Perkembangan Islam di Jawa berbeda
dengan di Arab, hal itu karena terdapat akulturasi antara budaya Hindu-Budha
dengan Islam yang diajarkan oleh Walisongo. Akulturasi merupakan perpaduan
antara dua budaya atau lebih yang menghasilkan bentuk kebudayaan baru tanpa
meninggalkan ciri khas dari kedua budaya atau lebih tersebut. Terjadi interaksi
antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam sekaligus terjadi interaksi dengan
budaya lokal yang telah ada sejak nenek moyang. Interaksi antara budaya akan
menghasilkan budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat namun jika budaya
yang dihasilkan bertentangan akan muncul konflik antar masyarakat. Bentuk-bentuk
akulturasi, yaitu seni bangunan, seni ukir, filsafat, sistem pemerintahan,
makam, aksara, seni sastra, kesenian, dan kalender.
Salah
satu akulturasi budaya Islam dengan Hindu-Budha yaitu berupa masjid. Masjid yang
merupakan hasil akulturasi dari Islam, Hindu-Budha yang masih ada sampai saat
ini yaitu Masjid menara Kudus yang terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota,
Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Masjid ini memiliki arsitektur perpaduan antara
Islam dengan Hindu-Budha. Masjid yang didirikan oleh Syekh Jafar Sodiq yang
lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus pada tahun 1549 M atau 956 H yang awalnya
bernama Masjid Al Aqsha. Nama ini terdapat pada sebuah prasati yang terpasang
di bagian atas mihrab. Bangunan candi merupakan hasil budaya Hindu-Budha pada
bagian bangunan menara masjid. Sedangkan hasil budaya Islam tercermin pada
penggunaannya untuk adzan. Akulturasi perpaduan Islam dan Hindu-Budha terdapat
pada sepasang gapura yang disebut dengan “Lawang Kembar”. Sekitar abad ke-7
pada saat Islam masuk ke Nusantara, masyarakat Nusantara masih terpengaruh dengan
budaya Hindu-Budha. Kemudian para penyebar agama Islam di Jawa (Walisongo),
termasuk Sunan Kudus yang memperkenalkan menggunakan strategi akulturasi budaya
Hindu-Budha. Tempat wudlu di Masjid Menara Kudus memiliki delapan pancuran dan
juga dilengkapi arca yang diletakkan di atasnya yang mengadaptasi dari
keyakinan Budha yang bermakna delapan jalan kebenaran atau Asta Sanghika Marga.
Di Kudus memiliki perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang disebut dengan Ampyang
Maulid tepatnya di daerah Loram Kulon yang menjadi tradisi setiap tanggal 12
Robi’ul Awwal. Budaya tersebut tetap lestari hingga saat ini. Karakteristik dari
perayaan tersebut yaitu tentang dakwah yang bernuansa Islamiyah yang berisi dengan
shodaqoh yang diwujudkan dalam bentuk tandu yang berisi makanan, hasil bumi,
buah-buahan, serta dihiasi kerupuk yang berwarna warni mengelilingi tandu
tersebut yang berbentuk kerucut.
Komentar
Posting Komentar