Oleh :
Titania Citra Noora
17/416415/SV/14153
Kearsipan C
Daerah
Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan
Provinsi Jawa Tengah yang mana di sebelah utaranya memiliki salah satu kesultanan Islam
yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram Islam. Kesultanan Mataram Islam ini dibangun pada abad ke-16 yang menurut
silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Wilayah kekuasaan Mataram Islam kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.
Sesudah naik tahta Mas Rangsang
bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di
Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta. Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara
Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, bahkan Kerajaan Mataram melakukan penyerangan terhadap VOC
di Batavia pada tahun 1628 – 1629. Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan
Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram
melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Amangkurat II (Amangkurat
Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas
dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang
lama dianggap telah tercemar. Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah
Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV
(1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.
Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga
tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon. Kekacauan politik baru
dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram
menjadi dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur
kota Karanganyar, Jawa Tengah).
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun
demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said), merupakan
tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Keberadaan Wali
Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan
penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dan
Kekhilafahan Islamiyah.
Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan
yang muncul di Indonesia, termasuk Kesultanan Mataram di Yogyakarta.
Budaya Jogja yang
saat itu masih kental ala Majapahit
dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola
interaksi yang islami. Di sinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah,
memberikan andil yang begitu besar. Hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara
kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat,
seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang
masih ada hingga kini. Wayang, sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang
digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam
(dakwahtainment). Wayang yang sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan itu menjadi
salah satu hiburan masyarakat yang paling populer. Demikian pula pada upacara
grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua
syahadat, merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga
dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada Perayaan Maulud Nabi di Masjid
Agung. Adapun grebeg, yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara
menghantarkan Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti Perayaan Maulud
Nabi Muhammad saw. yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana
lengkap dengan nasi gunungannya.
Komentar
Posting Komentar